Peta Musik Kalimantan yang Pertontonkan Parameter Baru

1
455

Rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia ke wilayah Kalimantan Timur menjadi topik hangat publik akhir-akhir ini. Terdapat sejumlah alasan yang membuat pemerintah mengeluarkan opsi tersebut.

Salah satu alasan yang melatarbelakanginya adalah terkait dengan pemerataan pembangunan dan penurunan populasi di Pulau Jawa, khususnya kepadatan penduduk yang menghuni wilayah DKI Jakarta.

Rencana pemindahan tersebut diiringi fakta-fakta yang cukup membuat kita tercengang. Setidaknya ada 57 persen penduduk dari total populasi di Indonesia, ditampung oleh Pulau Jawa.

Khusus di Jakarta yang sebentar lagi bakal melepas status spesialnya sebagai Ibu Kota, memang menjelma sebagai daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Jumlah penduduk dengan luas wilayah yang timpang merupakan penyebab utama.

Kepadatan Penduduk Jadi Salah Satu Alasan

Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, kepadatan itu berkat jumlah penduduk yang mencapai angka 10,5 juta penduduk yang ditampungnya. Hal itu menjadi pertimbangan kuat bagaimana Kalimantan menjadi pilihan dari rencana ini.

Dilain pihak, Kalimantan sendiri merupakan salah satu pulau terbesar dunia berkat luasnya yang mencapai 743.330 km persegi. Kepadatan penduduk yang sudah terlalu lama terpusat di pulau Jawa membuat rencana ini kian menguat untuk direalisasikan.

Menjadi pulau terbesar ketiga setelah Greenland dan Nugini (Papua), Pulau Kalimantan sendiri 6 kali lipat lebih luas ketimbang Pulau Jawa. Dalam hal pemerataan persebaran jumlah penduduk agar tidak terus terkonsentrasi, hal ini dianggap cukup masuk akal.

Kendati demikian, wacana pemindahan Ibu Kota ini masih belum berhenti menuai polemik. Pasalnya, ada banyak keraguan bagaimana Kalimantan menjamin pemerataan itu benar-benar bisa terjadi atau tidak. Pantaskah Jakarta kehilangan status istimewanya?

Jakarta Akan Tetap Jadi Jakarta

Apabila kita menelisik lewat pertimbangan angka—tingkat kepadatan penduduk mungkin berkorelasi dengan luas wilayahnya—Kalimantan nampak cocok untuk dijadikan tempat menggiring sebuah pemusatan seperti apa yang terlihat di Jakarta saat ini.

Namun, meski dengan uraian fakta-fakta yang dijadikan sebagai tesis bahwa pemindahan Ibu Kota ini diperlukan, ada beberapa hal perlu dilihat sebagai tolak ukur lain untuk dipertimbangkan. Apakah berpindahnya ibu kota, berpindah juga titik peradaban urban?

Budaya pop yang sampai saat ini masih dimonopoli oleh Kota Jakarta. Pusaran yang berpusat pada suatu tempat yang memiliki status khusus. Baik secara administratif maupun barometer yang mengarah pada kondisi sosial budaya.

Terlepas dari proses pelepasan status khususnya, Jakarta mungkin (masih) akan tetap menjadi sesuatu yang spesial; selayaknya ‘mantan’ yang begitu pelik dilupakan. Di sisi lain, Kalimantan mencoba berperan sebagai pesaing baru.

Sebagai sebuah kota Megapolitan, Jakarta masih memungkinkan untuk tetap melabelkan dirinya sebagai pusat perekonomian dan kiblat kultural. Hal itu bisa terjadi, meskipun status Ibu Kota telah resmi dipindahkan ke Kalimantan Timur.

Kiblat Budaya Pop Bersarang

Jakarta berpotensi besar bakal tetap menjadi kota yang tidak pernah tidur. Seperti halnya New York yang menjadi pusat kultur sosial—termasuk budaya pop (pop culture)—dan mengimbangi peran Washington DC yang menjadi pusat pemerintahan, sekaligus berstatus sebagai Ibu kota Amerika Serikat.

Premis yang melandasi pemindahan Ibu Kota Indonesia ke wilayah Kalimantan Timur nampaknya bersimpangan dengan cita-cita umum yang diboyongnya. Sejumlah pihak menganggap bahwa ada kontradiksi dari ‘pembenaran’ tentang pemerataan yang dimaksudkan.

Apakah pemerataan ini semata-mata hanya menjadi alat kontrol jumlah populasi yang begitu padat? Atau diiringi dengan tujuan menggiring, sekaligus menggeser kiblat nilai-nilai sosial yang juga turut serta tertampung di Jakarta selama ini?

Pop culture hadir sebagai sesuatu hal yang menjelma menjadi sebuah alat untuk membuat masyarakat sama. Sama dalam berbagai hal berkat sistem komoditi yang menyokongnya.

Menjadi kiblat hampir dari segala sisinya, tak heran untuk mengatakan kota yang mungkin sebentar lagi menjadi ‘mantan ibu kota’ ini merupakan tempatnya peradaban sosial berpusar.

Peta Musik Kalimantan Bentuk Potensi

Dan, secara tidak langsung, masyarakat di luar dari wilayahnya itu, secara sadar ataupun tidak, ikut mengonsumsi nilai yang berawal dari Jakarta. Musik yang merupakan salah satu elemen penyusun pop culture pun ikut tertampung di dalamnya.

Musik berurut dengan bagaimana selera publik dibentuk lewat sistem industrialisasi yang ada. Tentu tidak berlebihan juga apabila Jakarta disebut sebagai ‘pelabuhan’ awal pendistribusian kultur sosial ke hampir seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali Kalimantan.

Kendati ada fakta perencanaan berpindahnya Ibu Kota yang mengerubungi, tidak lantas menjadikan tampungan pop culture turut terangkat dan tiba-tiba hijrah ke Kalimantan. Seperti halnya New York, elemen-elemen budaya pop itu mungkin akan tetap betah bersarang di Jakarta.

Sebagai pusat perekonomian, peta industri musik turut dikuasai Jakarta sebagai tolok ukur sebuah kepantasan. Sementara, sebagai calon Ibu Kota, tidak lantas memberi jaminan bahwa Kalimantan akan menjadi barometer musik setelah Jawa, khususnya Jakarta.

Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini, potensi ke arah itu sudah ada, terlihat dan semakin berkembang. Perkembangannya terlihat dari banyaknya musisi yang berasal dari Kalimantan mempertontonkan kiprahnya.

Bergema Lewat Para Musisi

Mereka seakan membuktikan bahwa peta musik Kalimantan tidak kalah menjanjikan. Sejumlah musisi telah menunjukkan bagaimana kualitasnya mampu beredar dan dikenal. Dalam hal ini, Kalimantan layaknya mendeklarasikan sebuah tantangan.

Rio Satrio adalah salah satu nama dari banyaknya jejeran nama musisi asal Kalimantan yang mulai dikenal. Selain itu, ada Manjakani, yang dikenal sebagai duo akustik, sampai grup-grup seperti Murphy Radio dan Wai Rejected, juga ambil bagian dalam belantika musik tanah air.

Situasi ini seakan memberikan angin segar, namun mengikutsertakan sebuah parameter baru yang seolah menentang tesis yang melatarbelakangi pemindahan Ibu Kota yang menjadi topik sedap akhir-akhir ini.

Karya musik yang diperdengarkan perlahan-lahan membentuk basis popularitas tentang bagaimana peta musik yang berasal dari tanah Kalimantan. Bukan karena bakal mendapatkan status khusus, sebagai para musisi mereka justru membangun kepopuleran itu lewat karya-karya yang ditelurkan.

Melalui salah satu elemen budaya pop, yakni musik, Kalimantan diberi jembatan untuk bergerak mengganggu ‘inti sel’ yang bersarang di Jakarta. Parameter baru seolah turut dibenturkan pada alasan: pemindahan ibu kota demi pemerataan.

Apabila pemerataan yang dimaksud berada pada kiblat atau titik awal pendistribusian nilai-nilai budaya populer, sekadar memindahkan ibu kota mungkin bukanlah hal yang serasi. Kemungkinan itu bakal pasti apabila pemindahannya hanya mengacu pada status administratif.

Mencuri atau Menuntut Perhatian?

Peta musik Kalimantan yang memperlihatkan pondasi kuatnya seakan mempertontonkan tolok ukur baru. Sebuah contoh bahwa pemerataan terkait kiblat budaya pop itu sebenarnya bergantung pada ‘terdengar—atau diperhatikan—atau tidaknya sebuah nilai yang ada.

Lewat musik, Kalimantan berangkat dengan popularitas deretan nama musisi-musisi mereka. Dan, lewat musik pula perhatian itu diperoleh secara mandiri, sekaligus mengisyaratkan bahwa status Ibu Kota hanyalah sebuah sebutan politis.

Dalam hal ini, Kalimantan berpotensi untuk dikenal sebagai tempat lahirnya para musisi. Kondisi ini bukan tidak mungkin juga diikuti oleh daerah-daerah Indonesia lainnya.

Tanpa harus menyandang status Ibu Kota, perhatian serta pengakuan itu sebenarnya bisa saja muncul. Bahkan, bukan tidak mungkin bagi Kalimantan untuk bergerak menjadi salah satu kiblat industri musik tanah air suatu nanti.

Kita bisa melihat Bali yang memperlihatkan diri sebagai kawasan wisata, misalnya. Seperti bukan rahasia lagi bagaimana cara mengurus sektor pariwisata mereka ditiru—paling tidak: menginspirasi—oleh daerah-daerah lainnya.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here