Darurat Lagu Anak dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?

1
501

Kita boleh saja melucu tentang bagaimana anak-anak mungil hapal betul menyanyikan lagu-lagu cinta. Dan, saat ini kita tak boleh naif dalam menanggapi sebuah premis yang mengatakan bahwa kita, Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat lagu anak. stafaband

Media di Indonesia cenderung tidak lagi memberikan ruang bagi anak-anak untuk mendapatkan apa yang sebaiknya mereka dapatkan. Lagu-lagu yang berkeliaran di dunia hiburan saat ini, justru lebih banyak mendorong anak kecil untuk meniru, merapal dan menyanyikan lagu-lagu romansa orang. Alih-alih lagu anak.

Fakta yang bisa dibilang: kurang menyenangkan ini merupakan akibat dari exposure berlebihnya segmentasi musik yang belum pantas dinikmati anak-anak. Untuk melihat conto satu buah ironi ini, janganlah jauh-jauh mencarinya.

Cukup mengingat dan menyaksikan ulang bagaimana video anak-anak menyanyikan lagu-lagu yang belum pantas untuk mereka, beberapa kali sempat viral di media sosial. Selain terkendala oleh dominasi ‘lagu dewasa’ di dunia hiburan, karya musik untuk anak-anak juga memang seolah bersembunyi dari hiruk-pikuk: coba menghilang dari permukaan industri.

Larut Dalam Euforia Lagu Cinta

Di era 90-an sampai milenium 2000-an adalah musim keemasan para penyanyi cilik yang getol membawakan lagu-lagu anak ke dalam lantunan musik mereka. Kita mungkin cukup akrab dengan Joshua Suherman bersama lagunya yang berjudul “Diobok-obok”, atau lantunan “Si Lumba-Lumba” yang dibawakan Bondan Prakoso.

Selain itu, Enno Lerian bersama “Du Di Dam” dan “Jangan Marah” besutan Trio Kwek Kwek juga seru untuk diingat kembali. Puncak fenomena inipun berlanjut pada tahun 1999-2000 ketika muncul album lagu anak yang—bisa dikatakan—digarap secara serius, yakni Andai Aku Besar Nanti dan Petualangan Sherina yang digubah oleh Elfa Secioria dan dibawakan oleh Sherina Munaf.

Pada rentang tahun yang sama, Tasya Kamila pun turut ikut menyusul. Belantika musik anak kembali diramaikan oleh album Libur Telah Tiba, Gembira Berkumpul dan Ketupat Lebaran. Album tersebut diketahui masing-masingnya mengemuka pada 2001 dan 2002.

Namun, seiring dengan hantaman euforia dari lagu-lagu cinta, musik yang terkategori sebagai lagu anak seakan mulai terpinggirkan pelan-pelan. Musisi cilik beserta karya-karyanya seakan tidak mampu menyaingi superioritas lagu romansa dalam sebuah bentuk hegemoni pangsa pasar.

Puzzle yang Kehilangan Bidak

Seperti halnya puzzle yang kehilangan bidaknya, belantika industri musik anak di tanah air kita semacam memperlihatkan tanda-tanda kepunahan. Regenerasi musisi cilik dan pencipta lagu anak bisa dikatakan berhenti saat ini. Ruang untuk menunjukan karya mereka juga terbilang kian sempit.

Stagnansi itu pun memunculkan sebuah kebingungan yang begitu menyeruak hebat. Ada banyak dugaan selain buntut persoalan regenarasi yang menyebabkan kondisi darurat ini semakin masif. Media yang menjadi semacam saluran utama untuk diakses anak-anak, seolah bungkam dan memilih untuk mengikuti selera pasar yang jauh lebih potensial.

Bukan rahasia lagi jika musik untuk anak-anak sudah sejak lama dianggap bukan lahan basah untuk memperoleh profit. Televisi dan Radio saja misalnya, tidak seperti dulu, mereka seolah terjebak dalam kepingan kepentingan yang bertolak belakang dari kondisi darurat ini.

Lagu anak menjelma sebagai bidak puzzle yang disingkirkan, dinegasi dan tersubordinat-kan. Kebingungannya adalah: Kenapa? Padahal, acara program dan lantunan musik anak dulunya adalah elemen esensial yang menemani anak-anak Indonesia.

Berkubang di Kubangan yang Sama

Kita perlu menyadari bahwa penyanyi-penyanyi cilik di era emas mereka sebelumnya telah beranjak dewasa. Penikmat setia musik-musik mereka dulu kemungkinan juga berada dalam posisi yang sama saat ini.

Dan, tanpa kita sadari, mereka sebenarnya telah menyumbangkan ‘sesuatu’ yang besar. Sesuatu yang memperlihatkan bahwa Indonesia pernah hebat dengan hiruk-pikuk euforia lagu-lagu yang mengerti: apa yang dibutuhkan anak-anak Indonesia?

Selain pendidikan, kehidupan dan perlindungan sosial serta variabel-variabel lainnya, anak-anak juga butuh hiburan yang sebaya dengan mereka, bukan? Sampai kini, kita masih bisa melihat anak-anak berkerumun di antara orang-orang dewasa; bernyanyi dalam kubangan yang sama.

Jadi, apa yang seharusnya kita lakukan?

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here