Samalas, Identitas Kolosal Gunung Rinjani yang Tertekan

0
354

Gunung Rinjani pernah menjadi biang keladi atas munculnya sebuah krisis yang menyebalkan untuk kawasan Eropa. Peristiwa itu terjadi setelah letusan hebatnya di abad ke-13 silam.

Dampak erupsinya kala itu mampu berkelana jauh dari tempatnya bertengger. Hal itu bahkan menimbulkan apa yang disebut sebagai butterfly effect hingga memaksa Eropa tak dapat menghindar dari sebuah periode kekacauan serius.

Tahun 1257 menjadi waktu kejadian letusan tersebut. Akibat dari kekacauan yang ditimbulkannya kala itu, letusannya diperkirakan mencapai skala 7 berdasarkan Volcano Explositivy Index (VEI). Angka tersebut bahkan 8x lebih besar dari letusan Gunung Krakatau dan 2x lebih dahsyat dari Gunung Tambora di Sumbawa.

Muntahan material letusannya terseret hingga menyeberang ke benua lain. Eropa Barat menjadi salah satu wilayah tempat residunya tercatat bersemayam. Setidaknya demikianlah yang terungkap berkat adanya temuan-temuan ilmiah para ahli, jauh setelah periode tersebut berlangsung.

Nah, dari catatan angka tersebut, ledakan gunung api itu pun dikategorikan sebagai salah satu letusan gunung api terbesar pada era Holosen. Pusat letusannya terjadi tak lain dan tak bukan berada di Pulau Lombok yang kini tercatat sebagai bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Identitas Kolosal Sang Rinjani

Letusan dahsyat itu terjadi ketika Rinjani masih dalam wujud purbanya setinggi ± 4.200 mdpl. Dan, pasca erupsinya itu sang Rinjani purba harus merelakan 2/3 tubuhnya itu hancur dan meninggalkan jejak kaldera yang luas dengan hiasan danau vulkanik seperti yang bisa dilihat hari ini.

Setidaknya itulah yang diyakini para ilmuwan di zaman ini. Jauh sebelumnya, biang keladi yang memicu periode kekacauan bagi Eropa Barat itu tak diketahui. Publik di sana hanya bisa berasumsi bahwa kekacauan yang diistilahkan sebagai “tahun yang gelap” itu berkaitan dengan aktivitas vulkanis.

Butuh waktu yang begitu panjang untuk akhirnya mengumpulkan daftar “tersangka” yang memicu sebuah peristiwa yang sama sekali tidak sederhana. Bagaimana tidak, peristiwa tersebut digambarkan sebagai krisis panjang yang dicicipi Eropa Barat dari tahun 1258-1259.

Rinjani purba adalah salah satu nama yang masuk dalam bursa tersangka. Bahkan menjadi kandidat terkuat karena ada sejumlah kecocokan data vulkanologi dan kesamaan waktu. Menurut penelitian yang diungkan tahun 2013 lalu, temuan sisa kandungan geokimia vulkanis menjadi alasan di balik tuduhan tersebut.  

Adapaun, wujud purba sang Rinjani itu bernama Samalas. Meski berada dalam tubuh dan letak geografis yang sama, kedua identitas itu terpisah secara jejak sejarah. Ya, Samalas adalah identitas kolosal yang sempat tersemat untuk sebuah bongkahan raksasa sebelum terkenal sebagai Rinjani.

Efek yang Menggurita

Akibat terungkapnya misteri gunung api mana yang memicu krisis ini, identitas ganda gunung di Lombok pun membuatnya memiliki citra dalam dua sisi yang bersebrangan. Samalas adalah cerminan kengerian letusan vulkanik yang mampu memunculkan dampak signifikan dalam skala global.

Hal itu berbalik muka dengan Rinjani yang dikenal sekarang ini. Wujud detailnya sudah begitu terekspos. Popularitasnya lebih cenderung tentang destinasi wisata paling legit. Termasuk juga peran alam yang memberi manfaat ke sekitar, tak terkecuali bagi kehidupan sosial masyarakat.

Kini, terlepas dari cerita panjangnya sebagai Samalas dulu, Rinjani adalah representasi pusat tentang kemegawan alam Lombok yang menawan. Hal ini tentu kontradiktif dengan hasil penelitian yang menyudutkan nama identitas kolosalnya yang dikaitkan dalam seutas kasus tahun gelap di Eropa Barat.

Letusan purba Rinjani di tahun 1257 itu disebut-sebut menyebabkan gangguan iklim akibat dari muntahan aerosol sulfat. Dari titik itu, Samalas seolah mengubah dunia. Menimbulkan sejumlah anomali yang mengganggu berupa perubahan iklim, terganggunya lapisan ozon dan keseimbangan radiasi atmosfer.

Efek-efek itu pun menggurita hingga menstimulasi lapisan krisis, mulai dari gagal panen, bencana kelaparan, sampai hujan hampir sepanjang tahun. Dan, warga Eropa Barat kala itu mau tak mau harus menikmatinya dengan suasana alam yang diselimuti material kabut gelap yang tebal.

Hiasan Lain di Era Dark Ages

Gangguan iklim akibat Samalas kala itu, disebut oleh peneliti pohon asal Swiss, Sebastian Guillet, bahkan memperburuk kondisi gagal panen dan kelaparan yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi sebelum gunung purba itu meletus.

Catatan sejarah abad pertengahan yang dihimpun oleh sejarawan Inggris, Bruce M.S. Campbel turut melengkapi bahwa krisis gagal panen dan kelaparan menjadi salah satu pemicu timbulnya ketegangan politik di Inggris saat itu.

Ulah Samalas di abad ke-13 itu pun menjadi poin yang menjadikannya sebagai salah satu “hiasan pelengkap” di antara beberapa peristiwa yang terjadi di abad pertengahan (abad ke-5 hingga ke-14). Periode ini sendiri dikenal sebagai “Abad Kegelapan” atau Dark Ages bagi Eropa.

Bahkan, temuan ilmiah terbaru semakin menekan identitas Samalas. Disebutkan bahwa penurunan suhu global akibat selubung sulfat di stratosfer dari letusannya ikut berkaitan dengan kemunculan pandemi di abad selanjutnya, tepatnya terjadi antara tahun 1347-1351.

Akibat pandemi yang dikenal dengan sebutan Black Death (Maut Hitam) itu, Eropa harus kehilangan sekitar 20 juta jiwa atau 30 persen dari total populasi warganya. Bahkan, sejumlah sumber lain menyebutkan bahwa hampir setengah populasi di Eropa terenggut ketika pandemi ini berlangsung.

Capai Ketinggian 43 km

Frank Lavigne, peneliti gunung api dari Universitas Paris Pantheon-Sorbonne bersama timnya, mengungkapkan dalam makalahnya berjudul “Source of the great A.D. 1257 mystery eruption unveiled, Samalas volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia” (dirilis tahun 2013), erupsi Gunung Samalas diperkirakan memuntahkan 40 km3 material vulkanik.

Muntahan material abu itu menguar ke angkasa dengan ketinggian lontaran mencapai 43 km dan berlanjut mengelilingi bumi. Sementara total magma yang lepas dari Samalas sebanyak 40,2 ± 3 km3 Dense Rock Equivalentatau (DRE).

Aktivitas vulkanik dahsyat itulah yang dapat menimbulkan hujan abu masif. Dalam kasus ini, Samalas menghantarkannya ke seluruh dunia dan mengintervensi kondisi iklim global. Anomali cuaca lantas terjadi berupa suhu global yang tidak selaras dengan musim.

Di Eropa, anomali itu ditandai dengan adanya penurunan suhu saat musim panas, namun cuaca justru menghangat kala musim dingin. Hal itu begitu terasa dalam kurun tahun 1258-1259 di benua itu. Di bagian akhir makalahnya, tim Lavigne memperkirakan letusan Samalas terjadi antara Mei – Oktober 1257.

Pada bagian yang sama, Lavigne juga menjelaskan bahwa lontaran vulkanik Gunung Samalas ketika erupsi memang mengarah ke sebelah barat. Hal itu cocok dengan waktu berhembusnya angin timur selama musim kemarau yang kerap dimanfaatkan pedagang untuk berlayar.

Wabah Hukuman Tuhan

Perubahan iklim yang terjadi di era tersebutlah yang diduga menjadi salah satu pemicu Black Death masuk dalam daftar pandemi yang pernah terjadi di dunia. Suhu rata-rata global yang menurun selama 3-4 tahun pasca letusan Samalas disebut ikut mendorong pertumbuhan bakteri penyebab wabah tersebut.

Untuk diketahui, Black Death sendiri merupakan epidemi wabah pes kemudian menyebar hingga skalanya diduga meluas menjadi pandemi. Tak hanya Eropa, wabah yang disebabkan bakteri Yersina pestis ini turut ditemukan di beberapa wilayah di Asia dan Afrika.

Para ilmuwan mengetahui bahwa penyeberan bakteri penyebab wabah ini terjadi melalui transmisi udara dan dapat ditularkan juga lewat gigitan kutu atau hewan pengerat seperti tikus yang terinfeksi. Tak cuma manusia, hewan-hewan ternak juga turut menjadi korban dari wabah ini. Ketika masa berlangsungnya wabah ini, Eropa sempat mengalami kelangkaan bahan wol akibat banyak domba yang berjatuhan terkena dampak. Dan menariknya, saking misterius dan mengerikannya, sebagian orang abad pertengahan meyakini bahwa wabah itu sebagai hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here