RESENSI BUKU: Perjalanan Nun Jauh Ke Atas Sana – Tak Ada Cara Mengalahkan Tuhan

0
366

—-

Judul Buku : Perjalanan Nun Jauh Ke Atas Sana

Penulis : Kurt Vonnegut

Penerjemah : Widya Mahardika Putra

Penerbit : Penerbit OAK

Terbit : Cetakan Pertama, September 2017

Tebal : 38 Halaman; 12 x 18 cm

ISBN : 978-602-60924-5-8

—–

Saya perlu mengakui kalau saya merasa begitu tertipu—entah, mungkin saya memang benar-benar ditipu—oleh sinopsis yang tertulis di sampul belakang buku ini. Perasaan itu ditambah lagi dengan kegagalan paham saya yang awalnya mengira buku ini adalah novel tipis alias novela.

Pada kenyataannya, saya justru menemukan sebuah fakta yang agak menyakitkan. Alih-alih novela, ‘panorama’ dari laman daftar isi di dalamnya berhasil mengejutkan bahwa ini adalah sebuah buku kumpulan cerpen (kumcer). Buku ini menghimpun dua cerita yang ditulis di awal tahun 1960-an. 

Tapi, sebentar. Saya pun bertanya-tanya tentang hal tersebut. Buku jenis apakah sebenarnya ini? Dibilang kumcer, hati ini—saya yakin hati anda juga akan—dibuat berontak. Bagaimana bisa dua buah judul cerpen yang disatukan dalam satu sampul boleh disebut demikian?

Dua cerpen yang dicetak serius, menurut saya adalah satu-satunya ide penyebutan yang relevan untuk buku ramping ini. Tidak seperti buku-buku kumcer biasanya, kita akan langsung menemukan judul yang sekaligus menjadi judul buku ini di bagian paling awal.

Terleas dari itu, bagi saya nama Kurt Vonnegut sendiri masih begitu asing di telinga. Dua cerpen karyanya ini merupakan sebuah awal perkenalan. Jabatan tangan kami berdua dimulai dengan kesan yang seperti dua orang yang dipertemukan oleh aplikasi perjodohan.

Di tengah keragu-raguan, Vonnegut menyeret saya ke dalam sebuah adegan. Dalam cerpen “Perjalanan Nun Jauh Ke Atas Sana”, kita akan dibawa masuk ke dalam sebuah pra-kondisi yang sebenarnya sudah begitu mudah atau sebentar lagi akan mulai kita saksikan hari ini.

Ia mengenalkan kita pada seorang kakek yang (masih) hidup di penghujung abad ke-22, tepatnya pada tahun 2185. Kakek itu sedang menonton televisi yang menyiarkan program berita dengan marah. Bersama seluruh anggota keluarganya, ia duduk paling depan sembari menggebuk-gebuk lantai dengan tongkat jalannya.

Dari situ, Vonnegut menampilkan sebuah kehidupan yang justru tetap rumit setelah manusia di bumi menemukan sebuah cara untuk hidup dalam keabadian. Ia menggambarkan sekaligus menertawai sebuah situasi ketika umat manusia sudah berhasil menciptakan sebuah tatanan baru. “Wah, kalau cuma begitu seratus tahun lalu juga sudah ada!” (hlm. 1).

Ford adalah nama yang diberikan Vonnegut kepada sang kakek. Ia tinggal di sebuah tempat bersama dengan keluarganya. Di rumah yang luasnya kian menyempit karena bertambahnya anggota keluarganya yang panjang umur, sama sepertinya itu, Ford tengah kebingungan dengan urusan wasiat terkait warisannya setelah ia “memutuskan” mati nanti.

Dalam cerita yang dibangunnya, Vonnegut seperti menempatkan dirinya sebagai orang yang kontra dengan situasi ketika manusia sudah benar-benar berhasil menghindar pada kematian. Lewat skema fiksi-ilmiah, ia menyuguhkan kontradiksi itu melalui uraian yang kompleks, namun masih sangat mungkin untuk dinikmati.

Ketika menikmati cerpen ini, kita seolah sedang menenggak minuman atau menyantap makanan seperti bubur yang kaya rasa, namun tanpa tekstur yang berlebihan. Hal inilah yang membuatnya gampang ditelan dan dicerna oleh pembaca.

Namun, di sisi yang lain, frasa “kaya rasa” yang saya maksud di sini tak benar-benar mudah. Membaca konstruksi cerita Vonnegut ini seperti mencoba memakan sesuatu yang tak pernah kita rasakan sebelumnya.

Rasanya bisa saja aneh bagi sebagian kita. Tapi bisa saja sebaliknya bisa menerima atau menyukainya. Saya sendiri, setidaknya memerlukan dua kali baca ulang judul cerpen yang pertama ini sebelum bisa menerima “rasa” tersebut.

Sementara, dalam judul cerpen “2BR02B”, Vonnegut meramu sebuah situasi rekaan yang lebih menitikberatkan pada hak hidup. Manusia ditampilkan dalam kondisi berebut hidup, lebih tepatnya mendapatkan tempat untuk hidup di tengah padatnya jumlah penduduk hidup. Penduduk yang sudah tidak lagi menghadapi ancaman ajal kematian.

Cerpen ini tidak serumit judul sebelumnya, namun Vonnegut masih mampu menyampaikan kritikannya dengan argumen yang begitu pas. Pola ini hadir ketika Vonnegut, dengan cukup halus namun gamblang menyelipkan isu konspiratif yakni “kontrol populasi” sebagai titik utama, di mana orang yang akan hidup harus mempersembahkan kematian ketika umat manusia berada dalam keabadiannya sendiri.

Misalnya, dalam sebuah percakapan: “Siapa pula yang bisa senang bila ada di posisi saya? Saya hanya perlu memilih salah satu dari tiga anak saya untuk tetap hidup,” (hlm. 34). Dialog-dialog yang ada menunjukkan munculnya konflik apa yang sebenarnya menjadi pondasi cerita.

Situasi ini, di dalam cerita, muncul ketika dunia tengah berada dalam agenda kontrol populasi agar jumlah penduduk tidak semakin bertambah banyak. Lain hal dengan cerpen pertama, di mana kakek Ford beserta konflik di akhir perjalanan jauhnya “ke atas sana”-lah yang lebih berhasil membuat saya terkejut ketika sampai di akhir paragrafnya.

Dalam kedua judul cerpennya ini, Vonnegut mampu mengajak kita ke masa depan yang sangat mungkin terjadi. Lewat fiksi, imajinasi yang diusungnya seolah menyampaikan sebuah argumen yang begitu relevan sebagai premis, atau bahkan mungkin untuk merubuhkan angan-angan manusia yang ingin atau percaya: mampu mengakali (baca: mengalahkan) otoritas Tuhan—atau sebuah “kekuatan lain”, bagi yang tidak percaya eksistensi Tuhan—dalam urusan ajal.

Kedua judul yang mengisi buku ini memiliki keterikatan secara tematik. Manusia yang tengah menikmati surga keabadian tanpa perlu takut dengan ajal, tidak serta merta bisa disebut mampu mengalahkan Tuhan seutuhnya. Vonnegut dengan asiknya membahagiakan akhir ceritanya, justru dengan cara sebaliknya.

Walaupun memiliki kesamaan, ada perbedaan yang lain namun begitu mendasar, yakni gambaran masalah yang dimunculkan. Dalam judul pertama, kita akan terkejut pada angan-angan yang receh dan juga terdengar mustahil, tapi begitu langka ketika dunia berada di situasi yang digambarkan.

Sedang, judul cerpen yang kedua ini lebih bertumpu pada hal besarnya, yaitu kelahiran. Bagaimana bisa sebuah kelahiran yang ada pada realitas kehidupan kita hari ini, biasanya disambut bahagia; justru tergambar berbeda di alam dalam cerpen Vonnegut ini?

Ada semacam refleksi yang cukup dalam yang coba diuraikan Vonnegut dalam dua karya pendeknya ini. Pilihan manusia untuk mulai memilih meninggalkan kehidupannya di bumi, seakan berhak ditertawai ketika alurnya yang menggambarkan kekacauan demi kekacauan hidup manusia—seperti si Pak Tua  Ford—di abad itu kita sentuh.

Mungkinkah salah satu cara menemukan kedamaian itu adalah dengan kematian itu sendiri? Vonnegut sendiri memang tak menyinggungnya secara tersurat. Namun, bagaimana akhirnya kita; para membaca, ter-stimulasi untuk berandai-andai tentang hal itu setelah melahap kumcer ini?  

Lewat dua cerpen ini, kita dibuat membayangkan contoh-contoh masalah yang timbul ketika manusia sudah berhasil memenuhi salah satu hasrat besarnya. Ya, sebuah hasrat besar setiap kali kita meniup nyala lilin ulang tahun. Apa yang dinarasikan Vonnegut; seperti semacam ramalan masa depan yang akurasinya; sangat sulit untuk kita sanggah.

Impresi kekecewaan saya di awal tadi berhasil dibalik muka ketika saya menatap halaman yang berjudul “Mengapa Vonnegut?” Namun—meskipun bisa diletakkan di bagian awal—saya bersyukur ketika halaman ini diletakkan sebagai pintu akhir.

Paling tidak, kesan spoiler tersebut membuat saya terdorong membaca ulang buku ini dari awal—menuntut waktu untuk kembali mengenal Vonnegut lebih dalam lagi. Ya, ke depannya nanti.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here