Kopi Sajang, Harta Lain dari Kaki Sang Rinjani

1
293

Selain pesona alamnya yang menawan, Kecamatan Sembalun yang berada di kaki Gunung Rinjani juga memiliki spesialisasi lain. Ya, selain menjadi gerbang pendakian, kecamatan tersebut juga dikenal dengan sektor pertanian dan perkebunannya.

Sektor ini pun membuat warga Sembalun tak hanya menjadikan pariwisata sebagai satu-satunya opsi. Geliat sektor ini turut menjadi ruang bagi warga sebagai penggerak ekonomi.

Hal itu dibuktikan dengan melimpahnya hasil alam yang dihasilkan di Sembalun. Hasil alam tersebut berupa komoditi hortikultura, seperti kol, selada, bawang putih, wortel, hingga stroberi.

Apa yang dihasilkan itu pun menjadi salah satu penopang utama bagi pasokan untuk beberapa wilayah di Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan, hampir 50% pasokan ke Kota Mataram, selaku ibu kota Provinsi NTB tercatat berasal dari Kecamatan Sembalun.

Namun, warga setempat tak hanya mengandalkan sektor perkebunannya melalui hasil panen. Sejumlah warga pemilik lahan juga menautkan potensi tersebut ke sisi pariwisata.

Maka, tak heran jika Sembalun bukan hanya menyuguhkan panorama alam dengan jejeran lahan pertanian saja. Lebih dari itu, wisatawan juga bisa mencoba pengalaman agrowisata di samping menikmati beberapa atraksi wisata lainnya.

JADI TEMPAT IDEAL

Akan tetapi, hasil perkebunan Sembalun gak hanya itu saja. Areal perkebunan di Sembalun juga berbicara tentang bagaimana menghasilkan kopi.

Bisa dibilang kopi merupakan satu harta lain di antara jejeran hasil panen yang ada. Dilihat sebagai komoditas, kopi dari tanah Sembalun sendiri sudah mulai diperhitungkan dalam kebutuhan pasar saat ini.

Hal itu dapat dilihat bagaimana kopi yang dihasilkan termasuk dalam daftar kopi unggulan Indonesia. Dengan begitu, Sembalun menjadi salah satu perwakilan Lombok dan Nusa Tenggara Barat sebagai daerah penghasil kopi di Indonesia.

Luas wilayah Sembalun sendiri mencapai 217,08 km² dengan tingkat kepadatan penduduk yang masih terbilang lengang. Ditambah lagi dengan ketinggian datarannya antara 390 – 1180 mdpl, tentu ideal bagi Sembalun untuk ditanami perkebunan kopi.

Berkat kelebihannya itu, Sembalun terbilang dominan sebagai tempat perkebunan kopi di Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Lombok Timur, kecamatan ini dihiasi sekitar 1.200 hektar lahan kopi.

SENTRA PENGHASIL KOPI

Angka tersebut merupakan lahan untuk varietas kopi arabika. Sebagai wilayah tanam arabika, Sembalun ditemani Kecamatan Pringgasela yang memiliki luas lahan mencapai 100 hektar.

Dari data yang disampaikan tahun 2021 lalu tersebut, Lombok Timur tercatat menghasilkan 266.700 kg kopi arabika dalam setahun. Di tahun yang sama, terdapat 195.198 kg kopi jenis robusta dihasilkan dari lahan seluas 680 hektar.

Selain varietas arabika, kedua kecamatan ini juga menghasilkan varietas robusta. Berbeda dengan varietas arabika, lahan tanam robusta tidak terpusat hanya di dua wilayah tersebut.

Untuk varietas Robusta sendiri, lahan tanamnya tersebar ke beberapa wilayah di Lombok Timur. Beberapa di antaranya adalah Aikmel, Wanasaba, Sikur, Montong Gading, Suela, hingga Masbagik.

Merujuk pada catatan data yang ada, bisa dipastikan bahwa Sembalun merupakan titik pusat penghasil kopi arabika di Lombok Timur. Ini tentu berkat luas lahan yang ada, ditambah dengan kondisi alam yang begitu ideal untuk pohon kopi tumbuh.

PENERAPAN DUA POLA TANAM

Luas lahan tumbuh kopi pun seolah bersaing dengan lahan tanam komoditi sayuran dan buah di Sembalun. Kecamatan ini boleh saja terkenal dengan sektor perkebunannya, namun masih terlihat bimbang jika dilihat lebih spesifik.

Namun, hal tersebut sepertinya tak menjadi faktor penghambat. Baik kopi maupun hasil perkebunan lain, bisa berteman untuk sama-sama menopang dan memajukan Sembalun.

Itu bisa dilihat dari sejumlah petani kopi di Sembalun yang menerapkan pola tanam polyculture (tumpang sari). Dari penerapannya ini juga berpengaruh pada ragam karakter kopi yang dihasilkan.

Selain itu, pola tanam ini juga menjadi keuntungan tersendiri. Khususnya untuk mengoptimalkan luas lahan yang ada. Biasanya pola ini diterapkan oleh warga yang memiliki lahan terbatas.

Namun, ada pula warga yang memfokuskan penanaman kopi dengan pola monokultur. Lahan mereka pun hanya murni ditanami pohon kopi. Ini jugalah yang membuat karakter kopi dari Sembalun beragam.

EMAS HITAM DESA SAJANG

Sama halnya dengan hortikultura lain, perkebunan kopi sendiri juga tersebar di hampir seluruh wilayah Sembalun. Dari 6 desa di sana, Desa Sajang adalah salah satu kawasan yang begitu antusias menanam komoditi “emas hitam” ini.

Dari dua varietas kopi, jenis arabika menjadi unggulan di desa tersebut. Beberapa kelompok tani kompak membudidayakan kopi ini sebagai ciri khas.

Kopi Sajang, demikian penyebutan untuk kopi yang dihasilkan dari Desa Sajang. Ya, penamaan tersebut sesuai dengan desa asal tempat kopi ini ditanam.

Berkat adanya aktivitas tersebut, Kopi Sajang pun turut bertransformasi sebagai daya tarik tambahan untuk pariwisata Sembalun. Selain lahan kebun jadi spot kunjungan, wisatawan yang datang juga berkesempatan untuk mencicipi kopi khas sati ini.

Seperti kebanyakan arabika, Kopi Sajang pun cenderung memiliki cita rasa asam (acidity) yang cukup tinggi. Aroma kopinya pun begitu tipis, hampir tak mengeluarkan aroma ketika diseduh.

TUMBUH DENGAN CIRI UNIK

Namun, ketika disesap lah karakter rasa kopi dari Desa Sajang baru terasa. Biasanya, ada sensasi rasa buah-buahan (fruity) dan juga cokelat yang terasa ketika seduhannya diseruput.

Adapun, Kopi Sajang sendiri termasuk dalam kategori single origin. Kopi ini juga  bisa dibilang lebih identik dengan arabika. Pasalnya, kebanyakan petani kopi di Sajang lebih mengutamakan kopi jenis ini.

Preferensi Sajang untuk kopi arabika tentu tak mengherankan. Mengingat, nilai ekonominya secara komoditas memang lebih tinggi daripada jenis robusta di pasaran.

Menariknya lagi, arabika di Desa Sajang tumbuh dengan ciri unik. Seolah menepis teori tanam pohon kopi. Bagaimana tidak, di desa ini arabika dapat tumbuh dengan baik meskipun tidak ditanam di ketinggian dataran yang ideal.

Kopi jenis Arabika sendiri idealnya ditanam di ketinggian antara 1000 – 2000 mdpl. Ketinggian dataran Desa Sajang tampak tak sesuai dengan rekomendasi tersebut lantaran hanya berada di ketinggian antara 670 – 850 mdpl.

JEJAK PENINGGALAN KOLONIAL

Tak cuma itu, keunikannya ditambah lagi dengan hasil panen yang tak biasa. Biji kopi yang dihasilkan Desa Sajang berukuran jauh lebih besar dari jenis arabika lainnya. Bahkan, sekilas menyerupai robusta.

Hal yang terdengar seperti anomali inilah yang menjadi keunikan identitas Kopi Sajang sebagai salah satu single origin Pulau Lombok. Sebuah “keanehan” yang justru membuktikan kehebatan peran alam di sekitar Gunung Rinjani.

Namun, terlepas dari semua keunikannya tersebut, kopi bukanlah hal baru bagi Kecamatan Sembalun. Jejak awalnya sudah terjadi pada masa kolonialisme Belanda, tepatnya sejak tahun 1875.

Apabila dikomparasikan, penerapan tanam kopi di Sembalun hampir berbarengan dengan daerah lain. Bali dan Manggarai, Nusa Tenggara Timur adalah dua di antara daerah yang perkebunan kopinya “seumuran” dengan Sembalun.

Walaupun jejak awal yang jauh, lecutan geliat perkebunan kopi di Sembalun sempat menunjukkan regresivitas. Redupan paling gelap bisa dikatakan terjadi pada tahun 1987.

TUMBUH BERBUAH SENDIRI

Dulu, komoditi kopi dilirik setelah dirilisnya sebuah kebijakan pemerintah di tahun 1952. Sebuah program semacam Kredit Usaha Tani (KUT). Akibatnya, banyak petani mencoba peruntungannya.

Sayangnya, sepak terjangnya tak sesuai harapan. Batu sandungan mulai tampak ketika para petani tak mampu membayar kredit. Alhasi, aktivitas program pun melesu.

Menyikapi kegagalan tersebut, para petani memilih untuk memberikan hak pengelolaan lahan kepada pemerintah kala itu. Namun, alih-alih terkelola, penyerahan itu malah membuat lahan perkebunan kopi jadi terbengkalai.

Mulai saat itulah para petani beralih ke produk hortikultura. Padahal, lahan yang diproyeksikan untuk kopi di Sembalun kala itu berada di ketinggian antara 1300 – 1600, tentu lebih ideal daripada lahan di Sajang saat ini.

Sementara, lahan-lahan yang terlanjur ditumbuhi pohon kopi tetap dibiarkan. Tumbuh dan berbuah sendirinya. Walaupun di tengah kekosongan kepengurusan, warga setempat dibolehkan untuk memetik buah biji kopinya. Lagi-lagi, peran kondisi alam di Sembalun adalah keniscayaan. Kebun pohon kopi yang terbengkalai sepertinya tak benar-benar terbengkalai. Kekuatan alam di Sembalun bahkan mampu membuat pohon kopi tetap produktif secara mandiri. [haz]

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here