Danyang; Animisme yang Masih Mengakar Kuat di Jawa

6
1112

Danyang adalah penunggu suatu daerah tertentu yang sudah meninggal namun dipercaya oleh masyarakat arwahnya masih ada. Danyang diyakini oleh masyarakat Jawa bertempat tinggal di pohon besar. Biasanya orang-orang menyebutnya Punden. Orang Jawa menyakini Danyang adalah roh halus yang memiliki sifat baik. Dia tidak menyakiti ataupun menganggu masyarakat setempat, akan tetapi melindungi. Dari orang tua terdahulu selalu menceritakan secara lisan bahwa sebenarnya Danyang yakni wujud tokoh pendahulu (leluhur) yang sudah meninggal. Dia menjadi orang pertama yang menduduki daerah tersebut.

Kemunculan Danyang bermula ada seorang tokoh yang datang ke suatu tempat. Awalnya tempat tersebut masih hutan belantara. Karena tekatnya yang kuat, dia membersihkan hutan itu secara sendirian kemudian bermukim di situ. Setelah menjadi pemukiman, dia beranak-pinak, memiliki anak, cucu, buyut dan seterusnya. Hingga pada akhirnya daerah itu dihuni oleh orang berjumlah banyak. Seiring dengan berjalannya waktu, orang yang pertama kali menempati daerah tersebut diangkat sebagai sesepuh desa atau kepala desa. Jabatan tersebut berlangsung hingga ajal menjemput.

Setelah sesepuh desa dinyatakan meninggal, masyarakat sepakat untuk dimakamkan di dalam desanya untuk mengenang jasa atas berdirinya sebuah desa. Dalam pemakaman, masyarakat memberi simbol dengan satu tamanam yang memiliki akar tunggang (bisa pohon bringin, asem, trembesi dan lain sebagainya). Hingga pada akhirnya pohon tersebut tumbuh besar dan disebut Punden.

Masyarakat selalu menyakini bahwa roh orang pertama yang menguni daerah itu masih ada dan bertempat tinggal di pohon yang sudah besar itu tadi. Sehingga banyak dari mereka ketika ingin selametan, sedekah bumi, syukuran, dan kenduren harus dilakukan di Punden. Ketika desa akan melakukan pemilihan kepala desa, masyarakat menyakini sosok Danyang berubah wujud menjadi pulung. Pulung adalah simbol berupa cahaya yang terbang dan turun di rumah seseorang yang dianggap beruntung dalam masyarakat.

Hal semacam ini terjadi ketika ada acara pemilihan kepala desa ataupun yang lainnya. Masyarakat menyakini bahwa setiap pemilihan kepala desa selalu ditandai dengan adanya pulung. Sebelum pemilihan dimulai, di waktu malam ada wujud cahaya bersinar terang terbang di atas awan. Dan cahaya itu turun tepat di rumah orang yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Sehingga untuk meraih pulung, orang yang mencalonkan diri jadi kepala desa memiliki berbagai cara. Dia bisa melakukan selametan mohon do’a restu di punden, meminta izin kepada Danyang untuk menjadi kepala desa. Jika memang Danyang berpihak kepadanya berarti dia ditetapkan menjadi kepala desa, walaupun pemilihan belum dimulai, calon kepala desa tadi sudah memiliki keyakinan bahwa dia akan menjadi kepala desa.

Kepercayaan adanya Danyang termasuk animisme Jawa. Animisme di Jawa memang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Kepercayaan ini meliputi keyakinan bahwa roh makhluk halus dan roh nenek moyang (bisa berwujud harimau, ular, singa, kera dan sebagainya, tetapi hanya orang tertentu yang bisa melihatnya) selalu ada. Dan mereka bertempat tinggal di tempat-tempat tertentu.

Keberadaan Danyang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat pertolongan ketika ingin menunaikan acara desa. Perwakilan dari sesepuh desa, biasanya Modin mempimpin upacara dan diikuti oleh masyarakat di daerah itu. Upacara tersebut bisa berupa nasi tumpeng, sesajen (daun pisang sebagai alas, ada rokok sebatang, uang koin, bunga tiga warna dan kopi) yang ditinggal di bawah pohon besar (Punden). Sesajen itu diberikan kepada Danyang dan masyarakat menyakini bahwa nantinya Danyang akan memakannya. Cara itu merupakan budaya orang Jawa, yakni ketika meminta sesuatu sudah sepantasnya memberi imbalan kepada orang yang diberi imbalan.

Upacara tersebut bisa berupa nasi tumpeng, sesajen (daun pisang sebagai alas, ada rokok sebatang, uang koin, bunga tiga warna dan kopi) yang ditinggal di bawah pohon besar (Punden). Sesajen itu diberikan kepada Danyang dan masyarakat menyakini bahwa nantinya Danyang akan memakannya. Cara itu merupakan budaya orang Jawa, yakni ketika meminta sesuatu sudah sepantasnya memberi imbalan kepada orang yang diberi imbalan.

6 COMMENTS

  1. Komunitas-komunitas budaya di Indonesia memang punya cara uniknya masing-masing untuk menghormati leluhur. Tragisnya, cara-cara turun-temurun itu kadang dibenturkan dengan kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dari luar, yang sebenarnya nggak mengakar di Nusantara.

      • Kalau menurut saya, terkait spiritualitas, bukan persoalan generasi muda tidak berminat, sih. Kenyataannya sekarang, standar yang dipakai di negeri ini standar “masyarakat kebanyakan.” Praktik-praktik spiritual lokal dipandang sebelah mata. Cuma baru-baru ini saja to para penghayat baru bisa menuliskan “penghayat kepercayaan” di kolom KTP? Sebelumnya kan harus ikut salah satu dari enam yang diakui itu. Budaya dan tradisi memang banyak yang tumbuh dari akar rumput. Tapi susah juga buat akar rumput untuk tumbuh kalau terus ditindih.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here