Upacara Saparan Bekakak, Ritual dan Atraksi Budaya di Yogyakarta

1
595

Salah satu daya tarik Yogyakarta sehingga menjadi primadona pariwisata di Indonesia setelah Bali, adalah masih terpeliharanya upacara ritual, adat-istiadat, tradisi serta budaya yang umurnya sudah ratusan tahun. Salah satu diantaranya adalah Upacara Saparan Bekakak yang digelar setiap tahun di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Upacara ritual yang keberadaannya setua Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini sesuai dengan namanya, digelar setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa atau bulan Syafar dalam penanggalan Arab sekitar tanggal 10 – 20, hari Jumat, sekitar pukul 14.00 untuk pelaksanaan “Kirab Temanten Bekakak” dan pukul 16.00 untuk “Penyembelihan Bekakak”.

Sejarah Upacara Saparan Bekakak Yogyakarta

Upacara ritual ini bermula dari kisah Ki dan Nyai Wirosuto, abdi dalem atau pembantu yang melayani Sri Sultan Hamengkubuwono I, saat tinggal untuk sementara waktu di Pesanggrahan Ambarketawang, karena keraton dalam proses pembangunan.

Setelah keraton selesai dibangun dan Sri Sultan bersama keluarganya meninggalkan Ambarketawarng, sepasang suami istri tersebut sebenarnya diajak ikut serta. Namun mereka menolak dan lebih memilih merawat Pesanggrahan Ambarketawang.

Suatu ketika pada bulan Sapar, Gunung Gamping yang ada di dekat pesanggrahan longsor dan mengubur jasad Ki dan Nyai Wirosuto serta warga sekitar. Anehnya, bencana yang sama kembali terulang setiap bulan Sapar.

Akhirnya, Sri Sultan bertapa di Gunung Gamping dan berdialog dengan penguasa ghaib yang ada di sana. Makhluk ghaib itu mengakui kalau bencana di bulan Sapar terjadi karena perbuatannya. Dia bersedia untuk tidak membuat bencana lagi, asalkan setiap tahun dilakukan upacara pengorbanan sepasang pengantin.

Permintaan tersebut oleh Sultan dikabulkan. Hanya saja, untuk mengelabui makhluk ghaib, sepasang pengantin yang dikorbankan bukan manusia, melainkan patung berwujud manusia yang dibuat dari tepung ketan, sedang darahnya dibuat dari ‘juruh’ atau gula merah yang dicairkan.

Setelah dilakukan upacara ritual, bencana longsorpun tidak pernah terjadi. Sehingga setiap tahun masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Gamping Ambarketawang menggelar upacara yang sama, yang kini dikenal dengan nama Upacara Saparan Bekakak.

Upacara Ritual Berbalut Atraksi Budaya

Jika awalnya upacara ini merupakan aktifitas yang berbau ritual, maka kini lebih kental dengan nuansa atraksi budaya yang disuguhkan kepada para wisatawan. Upacara Saparan Bekakak bahkan menjadi event budaya yang dimasukkan ke dalam agenda wisata Provinsi D.I. Yogyakarta.

Pelaksanaan upacara ini diawali dengan Kirab Budaya yang berlangsung sejak pukul 14.00. Dalam kirab tersebut dapat dijumpai barisan kuda pengiring atau Kudo Wiro Manggolo, rombongan Bekakak, prajurit Bregodo Gamping Tengah, Bregodo Kijing Kidul, Santri yang membawa Tirto Dono Jati, Gunungan Buah-buahan serta Patung Genderuwo (sejenis makhluk ghaib).

Rombongan kirab yang mengenakan kostum dan berbagai atribut khas Jawa tersebut berangkat dari Lapangan Ambarketawang menuju kawasan Gunung Gamping yang lokasinya berada di dekat Pesanggrahan Ambarketawang. Rute dari Kirab Budaya ini menyusuri Jalan Raya Wates menuju ke Timur lalu berbelok ke Selatan lewat Jalan Ringroad Barat, sebelum akhirnya menuju kawasan Gunung Gamping.

Setelah sampai di kompleks Gunung Gamping, acara puncakpun digelar, yaitu membawa sepasang patung pengantin ke sebuah altar, kemudian disembelih secara bergantian oleh pemimpin upacara, dimulai dari pengantin pria, lalu pengantin wanita.

Setelah disembelih, potongan badan dari patung tersebut selanjutnya dirusak lalu  dilemparkan ke arah penonton yang menyaksikan jalannya ritual. Acara terakhir yaitu rebutan Gunungan Buah-buahan oleh masyarakat yang hadir.

Meski Upacara Saparan Bekakak secara keseluruhan sudah berakhir, namun lokasi pelaksanaan masih tetap meriah hingga beberapa hari berikutnya, karena di tempat tersebut didirikan panggung budaya serta pasar malam yang dipenuhi dengan berbagai macam hiburan. (*)

1 COMMENT

  1. […] Baju Surjan Yogyakarta adalah pakaian tradisional yang berasal dari Keraton Yogyakarta. Baju Surjan adalah salah satu busana yang identik dengan para abdi dalem di lingkungan Keraton Yogyakarta pada masa lalu. Namun, saat ini baju Surjan tidak hanya dikenakan oleh para abdi dalem saja, melainkan juga oleh masyarakat umum pada acara-acara resmi dan kebudayaan di Yogyakarta. […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here