Kue Lupis Khas Betawi

0
500
Kue Lupis Khas Betawi

Kue Lupis merupakan salah satu kue tradisional yang berasal dari Betawi, Jakarta. Kue ini terbuat dari beras ketan yang diolah menjadi bentuk bulat kecil dan disajikan dengan parutan kelapa serta gula merah cair di atasnya. Kue Lupis sering dijadikan sebagai hidangan khas saat perayaan Hari Raya Idul Fitri di Betawi, namun kini sudah menjadi makanan yang populer dan dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Rasanya yang manis dan teksturnya yang kenyal membuat kue ini menjadi favorit banyak orang. Mari kita simak lebih lanjut tentang kue Lupis khas Betawi yang memiliki cita rasa yang unik dan khas.

Berbicara tentang kudapan manis khas Betawi, kue cucur dan roti buaya mungkin akan paling cepat terbesit di benak banyak orang. Namun, ada satu camilan tradisional lainnya yang tak kalah legit, gurih, dan sungguh bisa membuat siapa pun ketagihan. Itulah kue lupis, ketan gurih yang disiram gula aren cair dengan sedikit taburan kelapa, yang nikmat disantap sebagai camilan atau bahkan alternatif sarapan.

Kue Tradisional yang Nyaris Punah

Tidak ada dokumentasi pasti yang mencatat tentang kapan dan bagaimana kudapan lupis atau lopis ini ditemukan. Namun, menurut banyak sumber, kue lupis telah ada sejak zaman Belanda dan berkembang menjadi penganan khas yang terkenal di beberapa daerah seperti Jakarta, Lumajang, Pekalongan, dan berbagai daerah di Pulau Jawa.

Di kalangan masyarakat Jawa, kue ini dikenal dengan sebutan “lupis” yang memiliki arti “terikat.” Harapannya, dengan menikmati lupis yang terbuat dari ketan yang lengket dan terikat tersebut, dapat tercipta kekompakan dan kesatuan budaya.

Sampai sekarang, lupis tetap hadir bersama aneka kue basah tradisional yang ada di pasar, seperti klepon, cenil, gemblong, dan lontong. Dengan kandungan karbohidrat yang melimpah, lupis adalah pilihan tepat untuk sarapan yang mengenyangkan.

Meski begitu, penjual kue lupis bisa dibilang makin sulit ditemukan di Jakarta. Lain halnya dengan Yogyakarta, Semarang, atau Solo, dengan penjual kue lupis yang relatif masih jamak—baik yang berjualan secara berkeliling maupun di pasar tradisional.

Erat dengan Tradisi Syawalan

Sajian kue lupis erat kaitannya dengan persatuan dan persaudaraan. Di Pekalongan, kue lupis bahkan hanya diproduksi dan tersedia pada bulan Syawal setelah Ramadan.

Tradisi ini berangkat dari orang-orang Krapyak (daerah penghasil ketan di Pekalongan) terdahulu, yang membuat kue lupis sebagai simbol kemenangan dalam menahan lapar, haus, dan nafsu selama bulan puasa. Kue lupis ini kemudian dihidangkan di setiap rumah warga Krapyak ketika Syawalan tiba.

Begitu spesialnya kudapan lupis, sehingga Pekalongan juga memiliki tradisi khas yang diadakan setiap satu minggu setelah perayaan Idulfitri, yaitu memotong kue lupis raksasa. Sempat absen karena pandemi, Syawalan pun kembali diadakan satu minggu setelah perayaan Idulfitri 1444 H tahun ini.

Sejarah Potong Lupis Raksasa

Karena dianggap mampu menguatkan hubungan sosial dan tali persaudaraan, tradisi memotong kue lupis raksasa merupakan salah satu momen yang sangat dinantikan masyarakat Pekalongan ketika bulan Syawal tiba.

Lupis, kudapan berbahan dasar ketan khas Krapyak, Pekalongan, memang memiliki pesona tersendiri dan sarat akan nilai-nilai filosofis. Lupis menyimpan makna persatuan dan kesatuan, sebagaimana tercermin dalam sila ketiga Pancasila.

Mengutip Wisnubroto (2023) melalui situs Portal Informasi Indonesia, tradisi lupis raksasa ini dikembangkan oleh K.H. Abdullah Sirodj, seorang ulama dari Krapyak yang merupakan keturunan langsung dari Tumenggung Bahurekso, salah satu tokoh legendaris dalam Babad Pekalongan.

K.H. Abdullah Sirodj melaksanakan puasa Syawal, dimulai sehari setelah Hari Raya Idulfitri dan berlangsung selama 2 hingga 7 Syawal. Tradisi puasa ini kemudian diadopsi oleh masyarakat Krapyak dan sekitarnya, sehingga mereka terbiasa untuk tidak saling mengunjungi atau melakukan silaturahmi selama periode tersebut.

Maka dari itu, setelah tujuh hari puasa Syawal berakhir, masyarakat setempat baru saling berjumpa dan menjalankan tradisi memotong kue lupis sebagai bentuk silaturahmi. Kue lupis dipilih karena dapat bertahan lama, tidak mudah basi, dan cocok disajikan sebagai hidangan utama untuk menyambut para tamu.

Namun, ada juga pendapat lain dari Dirhamsyah, seorang tokoh yang sangat peduli dengan sejarah budaya Pekalongan. Menurutnya, tradisi potong lupis muncul pada 1950, terinspirasi dari pidato presiden pertama Indonesia, Ir. Sukarno.

Saat menghadiri rapat besar di Lapangan Kebon Redjo pada tahun tersebut, Bung Karno memberi pesan agar masyarakat Pekalongan terus bersatu seperti lupis. Pesan inilah yang menjadi dorongan bagi masyarakat Pekalongan untuk selalu memotong lupis setiap kali bulan Syawal tiba.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here