Rumah Tahan Gempa itu Adalah Rumah Tradisional Nusantara

1
751

Apa yang pertama kali terbesit di benak kita ketika mendengar istilah bangunan atau rumah tahan gempa? Mungkin—kemungkinan besar—kita akan langsung merujuk pada bangunan dengan sistem konstruksi yang lengkap dengan teknologi canggih nan mutakhir.

Lalu, bagaimana jika hal itu dikaitkan dengan rumah tradisional yang kedengarannya bertolak belakang? Tahan sebentar, rumah tahan gempa sebenarnya tidak melulu mengacu pada teknologi canggih. Apalagi harus selalu modern.

Rumah yang masih memakai gaya konstruksi tradisi adat juga layak untuk disematkan dalam barisan. Jauh sebelum gembar-gembor tentang rumah tahan gempa berkumandang masif di lini masa dunia maya, rumah adat di Indonesia sebenarnya sudah mencerminkan prinsip yang sama.

Karena secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang rentan terkena gempa bumi. Ya, negara kita tercinta ini berada di jalur Cincin Api atau bahasa kerennya itu: Ring of Fire.

Alasan yang Begitu Sederhana

Dalam persolan konstruksi bangunan, nenek moyang kita sudah lebih dahulu mewariskan ‘teknologi’ bangunan yang mampu menahan guncangan gempa bumi, lho! Hal itu pun jadi tidak terlalu terdengar mengagetkan.

Indonesia, dengan beragamnya suku dan budayanya membuat banyaknya ‘koleksi’ rumah tradisi adat yang dimilikinya. Berada di kawasan rawan gempa seolah mendorong nenek moyang kita merancang kontruksi bangunan tahan gempa melalui rumah-rumah adat.

Alasan bahwa rumah-rumah tradisional ini mampu menahan guncangan gempa sebenarnya juga amat sangat sederhana. Jawabannya adalah kayu. Kenapa kayu? Karena di zaman dahulu, kayu dipercaya mampu meredam guncangan karena punya elastisitas yang lebih baik ketimbang bahan semen.

Dan dewasa ini, keyakinan itu pun nampaknya memang terbukti secara ilmiah, lho! Menghadapi situasi rawan gempa, penduduk Nusantara sudah lama mencoba melakukan mitigasi bencana dan menyesuaikan bentuk kontruksi rumah yang bisa mengimbangi guncangan.

Mempelajari Konstruksi Bangunan

Kendati beragamnya bentuk gaya yang diadopsi setiap rumah tradisi adat Nusantara, kayu umumnya dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam berdirinya rumah. Tidak heran apabila rumah-rumah adat di Indonesia seringkali terbuat dari kayu.

Akrabnya dengan fenomone gempa membuat masyarakat zaman dulu tidak henti-hentinya mempelajari kontruksi apa yang sesuai untuk ‘meladeni’ guncangan gempa. Karena itulah, rumah-rumah adat bisa dikatakan sebagai buah rancangan yang tidak kalah dengan teknologi bangunan tahan gempa modern.

Selain kayu, faktor utama lainnya juta terletak pada sistem rekatan yang merupakan teknik sambung ikat. Teknik inilah yang membuat bilah-bilah kayu yang digunakan tersambung dengan kuat.

Rumah tradisional di berbagai wilayah Nusantara hampir semuanya mengadopsi tekni sambung ikat tersebut. Hal ini lantaran belum familiernya warga dengan pemanfaatan semen dan paku sebagai perekat atau penyambung antar bagian kayu.

Diikat dengan Tali Berbahan Ijuk

Bangunan rumah yang dibangun seolah sudah mempertimbangkan apabila gempa bumi terjadi. Tidak hanya sekadar tahan gempa, tapi juga mempunyai ketahanan dengan jangka waktu yang lama.

Tali berbahan ijuk biasanya akan menghiasi setiap sambungannya. Kombinasi antara material dan teknik penyambungan inilah yang secara konstruksi mempunyai daya untuk meminimalisir tingkat kerusakan akibat guncangan.

Rancangan arsitektur dan kualitas materialnya dipilih sedemikian rupa. Salah satu contoh konstruksi rumah adat yang tahan gempa adalah Omo Sebua dari Kepulauan Nias. Struktur bahan material yang ringan dengan tiang-tiang penyangga membuatnya tampil kokoh.

Walaupun mengacu pada kekuatan bangunan, rumah adat tidak serta merta menghilang sisi estetika. Sama halnya dengan Nias, rumah adat yang dimiliki setiap daerah di Nusantara juga tampil dengan keunikan gaya arsitektunya masing-masing.

Selain rumah adat Nias, setidaknya ada sejumlah rumah adat di Indonesia yang tampil sebagai contoh sebuah bangunan yang tahan terhadap guncangan gempa. Beberapa di antaranya adalah Rumoh Aceh (Aceh), Rumah Gadang (Sumatra Barat), Joglo (Jawa), Laheik (Riau), Woloan (Tomohon, Sulawesi Utara) hingga Rumah Kaki Seribu dari Suku Arfak di Manokwari, Papu Barat.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here