Pusuk yang (Tak Lagi) Begitu Memikat

0
258

Ada banyak hal yang bisa dinikmati di Lombok. Terlebih jika hal itu berkaitan dengan sektor pariwisata. Pun, ada banyak cara pula untuk menikmati panorama demi panorama di pulau yang satu ini.

Sebagai daerah yang terkena dengan koleksi destinasi wisata alamnya yang menawan, menikmati Lombok akan terasa tak cukup bila sekadar 2-3 hari saja. Pesona pulau ini seolah terlalu besar bagi ukurannya yang terbilang mungil.

Koleksi itu pun seperti makin bertambah waktu demi waktu. Tiap-tiap destinasinya bergantian memperkenalkan diri. Sejauh inipun, sektor pariwisata Lombok sudah seperti warganet yang meng-update diri dengan tempat-tempat baru secara berkala.

Namun, dari banyaknya destinasi baru yang muncul tak serta merta membuat destinasi-destinasi lama terlupakan. Ya, hanya saja “dipaksa” untuk mengalah untuk menebarkan pesona demi memberi ruang bagi destinasi yang baru.

Mungkin hal itulah yang kini dirasakan wilayah Pusuk di perbatasan antara Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Barat. Walaupun harus diakui bahwa Pusuk bukanlah hal asing bagi warga Pulau Lombok sendiri.

Tentang Kedamaian di Dalamnya

Kawasan Pusuk sendiri sudah dapat dikatakan sebagai “pemain senior” dalam reputasi wisata Pulau Lombok. Tentu sudah ada beberapa drama yang mengiringi sepak terjangnya sebagai salah satu destinasi.

Seperti halnya dengan kawasan Puncak di wilayah Kabupaten Bogor dan Cianjur, begitu jugalah Pusuk berkontribusi. Bahkan, sudah lama terkenal mampu menarik baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Eksistensinya tentu tak selalu mulus membiarkannya damai. Deretan drama kebijakan tak pernah segan mengintervensi kedamaian di dalamnya. Pemandangan hijau, rindang pepohonan, dan suasana yang tentu saja; menyejukkan.

Pada dasarnya, Pusuk merupakan kawasan hutan konservasi. Sebuah kawasan hutan lindung yang menjadi bagian kawasan hutan Rinjani barat. Wilayahnya mencapai luas sekitar 43.550 hektar dengan 162 jenis pohon—dua di antaranya: Mahoni (Swietania macrophylla), dan Sonokeling (Dalbergia latifolia)—di dalamnya.

Tak Hanya Sekadar Hutan

Adapun, nama “Pusuk” sendiri dapat diartikan sebagai Puncak dalam Bahasa Sasak. Kawasan hutan wisata ini diketahui dikelola oleh pihak Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang berpusat di kaki Gunung Rinjani, gunung tertinggi ketiga di Indonesia; yang tingginya mencapai 3.726 mdpl.

Peran Pusuk memanglah demikian pada dasarnya. Namun, peran kawasan konservasi tersebut bukanlah satu-satunya. Pusuk pun ikut berperan sebagai gerbang wisata yang ramah menyambut kedatangan wisatawan.

Di antara belantaranya itu, melintang jalur lintas kendaraan yang menghubungan Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara. Jalur lintas Pusuk ini membentang sepanjang mengikuti alur datarannya. Berkelok dan menanjak dengan sisinya yang dihiasi tebing dan jurang.

Pesona Pusuk tak hanya itu. Akan sangat wajar jika pengguna jalur lintas melihat penunggu asli kawasan tersebut yang berkeliaran. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah penghuni yang menjadikan Pusuk sebagai habitatnya.

Pusuk Itu Siapa?

Seiring dengan popularitas Pusuk sebagai tempat wisata singgah, tak mengherankan jika satwa tersebut seperti tak malu untuk bercengkrama dengan para pengunjung dari pinggir jalan.

Lantas, muncullah sebuah pertanyaan besar tentang Pusuk beserta elemen-elemen yang diasosiasikan di dalamnya. Siapakan ia sebenarnya? Lahan konservasi atau destinasi (sekaligus atraksi) wisata yang menjargonkan diri sebagai kawasan terlindungi?

Kedamaian Pusuk boleh jadi sudah benar-benar berdamai dengan sisi lain di luar kepentingannya sebagai titik konservasi. Wisatawan berbondong datang dan bercengkrama dengan monyet-monyet penghuni Pusuk.

Warga sekitar pun sudah menganggap populasi primata di  daerah Pusuk merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Monyet-monyet yang menghuni hutan memang sudah hidup dan berkembang biak sejak dulu.

Panorama Titik Tertinggi

Di tengah kebingungan tersebut, Pusuk sudah sedemikian terlanjur seperti itu dan sejumlah perubahan pun turut mengiringinya. Kawasan hutan lebat yang berdampingan dengan jalur lintas mobilitas manusia yang dinamis.

Merujuk pada lintasan jalur lintas itu, terdapat titik puncak tertinggi yang seringkali menjadi spot favorit pengunjung. Pada ketinggian 831 mdpl, akan terlihat lanskap berupa perbukitan hijau, hingga bentangan laut Lombok Utara.

Ya, paling tidak begitu juga dengan titik puncak popularitas Pusuk yang mungkin telah mencapai batasnya. Konservasi seharusnya berlanjut dan kepentingan pariwisata di dalamnya mungkin sebaiknya dikatakan mentok.

Melihat kehadiran destinasi-destinasi baru—yang terbaru: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dengan kehadiran Mandalika International Street Circuit—di Lombok, Pusuk akhirnya terlihat “mengalah”. Mengikhlaskan popularitasnya dari sisi pariwisata.

Gerbang Titik Balik

Kini, kawasan Pusuk pun sudah kian menemukan drama baru dalam daur eksistensinya di segi kepentingan wisata. Alih-alih dipadati wisatawan yang singgah demi mencoba akrab dengan primata penghuninya, hal itu menunjukan perubahan.

Pusuk kini seolah tak lebih dari sekadar hutan konservasi yang kebetulan menyisipkan jalur lintas penghubung. Kepadatannya lebih diisi oleh pengendara yang memanfaatkan jalur itu sebagai akomodasi mobilitas kita, manusia.

Namun, jika hal tersebut dilihat secara positif, tentu ini akan menjadi titik balik bagi Pusuk itu sendiri. Kawasan konservasinya hanya memiliki satu gangguan, yaitu kepadatan jalur lintas itu dalam memfasilitasi, lagi-lagi kita, manusia.

Akan semakin baik pula bagi primata yang menghuni Pusuk, lantaran monyet-monyet yang turun ke jalan tak lagi bergantung pada hasil “mengamen” makanan ke para pengunjung. Ini akan mengembalikan kemandirian monyet dalam mencari makanan di habitatnya sendiri.

Kembali ke Masa Lalu

Kalau saja asumsi titik balik itu benar adanya, Pusuk seperti akan benar-benar kembali ke sebuah masa di mana hal itu mengandung sisi historis. Seutas sisi yang tak banyak orang mengetahui atau minimal menyangkanya.

Jalanan yang melintang elok di kawasan Pusuk itu sejatinya merupakan hasil kerja anak bangsa lewat sistem kerja paksa (romusha). Proyek tersebut diinisiasi oleh militer Jepang di Lombok pada zaman penjajahan masa lalu.

Pada masa itu, romusha dibebankan Jepang pada masyarakat Lombok dengan tujuan membangun jalur penghubung. Demi memperkuat pertahanan dan komunikasi, jalur tersebut dibuat untuk memangkas jarak rute pendistribusian logistik.

Adapun, Angkatan Laut Jepang mendarat di Lombok pada tahun 1942 melalui Pantai Ampenan yang dulunya sempat aktif sebagai pelabuhan utama. Kedatangan Jepang merupakan tanda berakhirnya kekuasaan Belanda yang tercatat bercokol di Pulau Lombok sejak 1894 silam.

Kembali (Harus) Berkorban

Setelah sepak terjangnya kini, Pusuk masih tetap terjebak dalam kebingungan. Kawasan ini tetap saja bimbang tentang jati dirinya. Apakah ia sebenarnya? Sebuah kawasan hutan dengan jalan raya atau jalan raya dengan hutan?

Pusuk kian dipaksa mengalah. Sikap mengalah Pusuk pun pada akhirnya harus lebih berkorban lagi. Pengorbanan yang membuatnya harus rela untuk menyumbangkan (baca: membiarkan) sedikit kerimbunannya. Lagi.

Pengorbanannya itu kembali terjadi pada Oktober 2021 lalu. Sebuah proyek pelebaran jalan yang jelas tak pernah murah anggarannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung sisi pariwisata yang ramai, terlebih dengan hadirnya pusat peradaban wisata terbaru di Mandalika.

Apabila jalur lintas Pusuk dimaksudkan sebagai lintasan distribusi logistik oleh militer Jepang di masa penjajahan dahulu, oleh pemerintah kita, pelebaran jalan ini kini dimaksudkan sebagai jalur “pendistribusian wisatawan” agar lebih leluasa menikmati menjelajahi Lombok.

Proyek pelebaran jalan sempat tidak tak mulus. Masyarakat menentang lantaran AMDAL-nya dinilai bermasalah. Tapi, pemerintah tetap lanjut hingga Pusuk punya wajah baru sekarang ini. Meski proyek ini sempat tertunda juga.

Pusuk dan Sebuah Dongeng Klise

Apapun tujuan proyek tersebut, pengorbanan jalan Pusuk hanya berarti satu: pohon-pohon ditebang dan tebing bukit yang menjadi dinding jalan mesti dipapas. Tumbuhan-tumbuhan dan monyet-monyet pusuk dipersilahkan menonton.

Alih-alih titik balik konservasi, daya pikat kawasan Pusuk justru dipertemukan cabang lama yang diperbarui. Seperti Jepang yang menandakan masa pendudukan Belanda di Indonesia telah usai, sektor pariwisata Lombok kian memonopoli ruang hijau demi dongeng klise: pertumbuhan ekonomi.

Pusuk tak lagi hanya menghadapi ancaman longsor akibat aktivitas alam, melainkan juga longsor paksaan demi memuluskan proyek pelebaran jalan. Hmm, jalur distribusi logistik zaman penjajahan Jepang itu sepertinya menguar dalam versi lain, ya?

Sistem ekonomi dan kebijakan politik tetap terlihat tak pernah berorientasi pada kerimbunan. Pariwisata adalah salah satu bab cerita yang tampak selalu berjodoh dengan prioritas pemodal dan pemasukan.

Pusuk begitu memikat dengan jalur lintas abu-abunya yang kian melebar. Begitulah pusuk terlihat kini. Bukannya selamat datang kembali, Pusuk saat ini lebih cocok jika diberi ucapan selamat jalan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here