Mengenal Filosofi Daerah Yogyakarta

1
463

Yogyakarta adalah daerah Istimewa yang ada di Indonesia. Mengacu pada sejarah Nusantara, Yogyakarta merupakan warisan dari kerajaan Mataram. Bahkan hingga sekarang Yogyakarta masih dibawah naungan Raja Yogyakarta. Segala aturan dan hal apapun diselesaikan oleh raja. Namun yang pasti masyarakat Yogyakarta tetap merasakan kedamaian. Sekarang Yogyakarta dipimpin oleh Raja yang ke-X. Penobatan Hamengkubuwono ke-X sebagai raja dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 1989. Lebih tepatnya pada Selasa Wage 19 Rajab 1921 (7 Maret 1989 M).

Dengan gelar resmi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalam Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah terjadi Sabdaraja yang pertama, gelar Sultan Hamengkubuwono ke-X berubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono ingkan Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama.

Filosofi Yogyakarta

Jika dicermati, tentu Yogyakarta memang ditakdirkan sebagai daerah yang filosofi. Setiap dari bangunan dan tata letak kota ada makna tersendiri dan harus tetap dijaga hingga akhir masa. Sebab Yogyakarta merupakan warisan dari kerajaan Mataram yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Struktur daerah Yogyakarta sebenarnya cukup menarik jika kita pelajari. Dari utara, ada Gunung Merapi dan ada pawang terkenal bernama Mbah Maridjan (sekarang sudah meninggal). Jika ditarik lurus mengacu tendensi ilmu geografis, maka terdapat jalan Malioboro yang panjangnya sejauh 2 kilometer. Lurus lagi ke selatan berjarak 6 kilometer, maka akan menemui Kandang Menjangan atau Panggungharjo. Dan lurus lagi ke selatan, akan kita temui pantai Parangtritis.

Dari 4 letak yang telah disebutkan di atas, semuanya terdapat makna filosofi. Bahwa struktur daerah Yogyakarta sama persis bentuk anatomi manusia. Ada kepala, perut, kemaluan dan kaki.

Pertama, Gunung Merapi yakni sebagai simbol kepala. Sebagai kepala, sudah sepantasnya dijaga dan dihormati apapun keadaannya. Sebagaimana Mbah Maridjan selama hidupnya didedikasikan mengabdi di Gunung Merapi hingga meletus. Pada tanggal 27 Oktober 2010, Yogyakarta mengalami duka berkepanjangan. Merapi saat itu meletus dan lavanya menjalar kemana-mana. Pada saat itu pula Mbah Maridjan dikabarkan meninggal. Ia meninggal bukan terjebak dalam semburan debu panas, akan tetapi ia sudah memantabkan jiwa bahwa walaupun Gunung Merapi meletus, ia tetap mengabdi.

Jalan Malioboro

Kedua, jalan Malioboro diibaratkan perut. Jalan ini terkenal dengan wisata kulinernya. Segala macam makanan dan kebutuhan jasmani tersedia. Mulai dari angkringan, nasi opor, gudeng, pecel, dan lain sebagainya. termasuk pernak pernik baju murah-murah, souvenir gantungan kunci, kalung, gelang, semuanya ada. Jika seseorang lapar, datang kesini akan tercukupi semuanya. Lapar bukan berarti harus makan, tetapi lapar yang ada hubungannya dengan hawa nafsu juga. Kebutuhan perut segalanya ada di jalan Malioboro.

Ketiga, Kandang Menjangan atau Panggungharjo. Panggungharjo diidentikkan dengan kemaluan. Sebagai orang yang baik dan mengenal agama, sudah sepantasnya menjaga kemaluan. Dan di Panggungharjo (Krapyak) diidentikkan dengan Pondok Pesantren. Di daerah Panggungharjo teradapat kawasan santri. Filosofinya yakni santri sudah seharusnya mengaji, tirakat, dan berperilaku yang mencerminkan seorang teladan. Selagi daerah Panggungharjo diisi oleh para santri, kiai, ulama, guru-guru agama, berarti hakikat Yogyakarta telah mempertahankan kemaluan terjaga penuh hati-hati.

Keempat, pantai Parangtritis diibaratkan sebagai kaki. Kaki sudah sepantasnya dalam keadaan bersih. Ketika ada kotoran, berarti najis maka ketika menunaikan ibadah pun tidak diterima olehNya. Sehingga sampai saat ini,  Pantai Parangtritis selalu dijaga dari hal-hal yang dirasa mengotori. Seseorang yang mengunjungi pantai harus memiliki adab dan aturan tertentu. Jangan sampai gara-gara mengabaikan adat-istiadat (tata krama berada di pantai), hingga mengakibatkan fatal. Tidak sedikit orang yang meninggal dikarenakan waktu  petugas pantai memperingatkan diabaikan.

Itulah sekelumit cerita mengenai Filosofi kota Yogyakarta yang dapat kita ambil pelajaran.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here