Ki Hajar Dewantara Sang Bapak Pendidikan

1
472

Anda pasti sudah kenal siapa Ki Hajar Dewantara? Ya, dia adalah bapak pelopor pendidikan di Indonesia. Bapak pendidikan ini memiliki nama asli, yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Sungguh banyak jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam pendidikan. Perjalanan beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dapat dilihat melalui biografi singkatnya.

Kelahiran Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Pakualaman. Anda pasti ingat, kalau tanggal lahir beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau lahir di sebuah keluarga Keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Harya Soerjaningrat dan cucu dari Pakualam III. Pada tahun 1922, beliau melepas gelar bangsawannya dan mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Karena status keluarganya, Ki Hajar mendapat kesempatan menempuh pendidikan di Sekolah Belanda, Europeesche Lagere School (ELS). Setelah selesai di ELS, dia melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter Bumiputera, STOVIA, akan tetapi tidak sampai tamat karena jatuh sakit.

Ki Hajar Dewantara Di Dunia Jurnalis

Tidak menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Ki Hajar mulai bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Beberapa surat kabar tersebut, di antaranya, De Express, Midden Java, Kaoem Moeda dan Tjahaja Timoer. Beliau menghasilkan tulisan-tulisan yang tajam, komunikatif dan patriotik yang penuh semangat anti penjajahan.

Selain aktif dalam dunia jurnalis, Ki Hajar juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, salah satunya Budi Oetomo. Peran beliau dalam organisasi ini yaitu pada bagian propaganda dalam rangka membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Pada tahun 1912, dia juga mendirikan Indische Partij bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoen Koesoemo. Tiga orang pendirinya tersebut dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.

Pada 1913, pemerintah Hindia Belanda membebankan warga pribumi dengan permintaan sumbangan. Sumbangan dana tersebut digunakan untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis. Kebijakan itu menyinggung perasaan rakyat Indonesia, sebab merayakan kemerdekaan di tanah bangsa yang kemerdekaannya mereka rebut bahkan dananya dari rakyat Indonesia.

Hal demikian memicu reaksi kritis dari Ki Hajar. Dia membuat dua tulisan berupa kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kedua tulisan tersebut, yaitu Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Saya Seorang Belanda) dan Een Voor Allen Maar Ook Allen Voor Een (Satu Untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu).

Tulisan tersebut membuat Mi Hajar ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Tjipto Mangoen Koesoemo tidak terima dan melakukan protes terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sehingga akibatnya Tiga Serangkai diasingkan ke Belanda.

Ki Hajar Dewantara Usai Masa Pengasingan

Selama masa pengasingan di Belanda, Ki Hajar menggunakan waktunya untuk belajar. Beliau pun sempat mendapatkan Europeesche Akta, yaitu sebuah ijazah dalam bidang pendidikan. Pada 1918 masa pengasingannya selesai dan beliau kembali ke Indonesia dengan tekad untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kebodohan. Pada 1922, Ki Hajar mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa yang bertujuan untuk menanamkan rasa kebangsaan dalam rangka memperoleh kemerdekaan.

Ki Hajar Dewantara Setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, Ki Hajar Dewantara kemudian diangkat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Beliau memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada. Selain itu beliau dinyatakan sebagai bapak pendidikan. Setelah semua kiprahnya dalam dunia pendidikan Indonesia, beliaupun menghembuskan napas terakhirnya pada 26 April 1959 di tanah kelahirannya, Yogyakarta.

Demikianlah biografi singkat Ki Hajar Dewantara. Ada sebuah pesan beliau yang berbunyi, Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari ungkapan tersebut, yaitu: di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan. Itulah pesan yang harus selalu diingat. Beliau berucap, “setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”. Semoga kita bisa meneladani beliau.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here