Gesang, Maestro Keroncong Indonesia yang Mendunia

1
1039

Bagi penggemar musik keroncong serta lagu-lagu berirama langgam, nama Gesang tentu sudah tidak asing lagi, karena cukup banyak lagu-lagu ciptaan sang maestro yang sampai saat ini masih didendangkan oleh para musisi dan penyanyi keroncong di berbagai acara.

Beberapa judul lagu Gesang yang tidak lapuk dimakan zaman tersebut, diantaranya adalah Jembatan Merah, Sapu Tangan, Kemayoran, Tirtonadi, Luntur, Pamitan, Caping Gunung, Ali-Ali, serta beberapa lagu yang lain.

Diantara sekian banyak lagu yang diciptakan oleh maestro musik keroncong Indonesia ini, ada satu lagu yang membuat namanya melambung dan dikenal ke berbagai penjuru dunia adalah sebuah lagu yang berjudul “Bengawan Solo”.

Bengawan Solo – Gesang

Sekilas tentang Lagu “Bengawan Solo”

Lagu Bengawan Solo diciptakan sekitar tahun 1940 pada saat Gesang berusia 23 tahun. Kekagumannya terhadap sungai terpanjang di Pulau Jawa ini, membuat Gesang terinspirasi untuk menggubahnya menjadi sebuah lagu dengan proses penciptaan sekitar 6 bulan.

Lagu ini tidak hanya populer di Indonesia, tapi juga di beberapa negara di dunia, sehingga “Bengawan Solo” diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Setidaknya ada 13 bahasa di dunia yang telah digunakan untuk merepresentasikan isi dari lagu ini, beberapa diantaranya adalah Bahasa Jepang, Inggris, Tionghoa, Vietnam, Belanda, Rusia,  serta yang lain.

Di Jepang, lagu “Bengawan Solo” begitu populer, sehingga lagu ini pernah dijadikan soundtrack sebuah film yang mengambil background Sungai Bengawan Solo. Selain itu,   Gesang juga memiliki fans tersendiri dan para fans Gesang yang ada di Jepang tersebut memiliki satu perkumpulan yang kemudian menghimpun dana untuk membangun sebuah monumen yang diberi nama Taman Gesang.

Monumen “Taman Gesang” dibangun pada 1 Oktober 1991 di kawasan Taman Satwa Taru Jurug. Monumen dengan luas 1.564 meter2 (34 x 46 meter) ini dilengkapi dengan sejumlah fasilitas, seperti gapura, jalan paving, jembatan, aula, panggung keroncong, tribun penonton, dan tentu saja patung Sang Maestro.

Sejarah Singkat Gesang

Dilahirkan di Surakarta pada 1 Oktober 1917, nama panjang yang diberikan orangtuanya adalah “Gesang Martohartono”. Kecintaannya pada musik keroncong, membuatnya semasa masih muda berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu keroncong dan menghibur para undangan di acara-acara atau pesta-pesta kecil.

Selama menekuni karir sebagai penyanyi itulah, sesekali Gesang juga menciptakan lagu. Tidak disangka, ternyata banyak lagu-lagu ciptaannya yang disukai oleh musisi dan penyanyi keroncong lain, sehingga lagu-lagu ciptaan Gesang pun kerap dibawakan di berbagai acara serta melambungkan namanya dijagad musik keroncong.

Namun sayang, keindahan dari lagu-lagu ciptaannya tidak seindah kehidupan rumah tangganya yang membuat dia harus bercerai dengan istrinya pada tahun 1962 tanpa dikaruniai anak. Sejak saat itulah dia memutuskan untuk menjalani hidup sendiri.

Pada tahun 1980, dia sempat tinggal di Perumnas Palur yang merupakan hadiah dari Gubernur Jawa Tengah. Sekitar tahun 1990, dia diboyong oleh keluarga dan keponakannya dan tinggal di Jalan Bedoyo No.5, Kelurahan Kemlayan, Serengan, Solo.

Pada tahun 2007, Gesang sempat menjalani operasi prostat. Kesehatannya mulai mengalami penurunan sejak awal tahun 2010, sebelum akhirnya dirawat di ruang ICU pada 16 Mei 2010. Empat hari kemudian, tepatnya pada 20 Mei 2010 pukul 18.10 WIB., Gesang tutup usia di usia 92  tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta.

Kini Gesang memang sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita, namun senandung lagu-lagu ciptaan maestro keroncong, senantiasa mengalun menghibur pecinta musik di Indonesia dan dunia. (*)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here