Dalam Kondisi Darurat, Musik Duo Mobysade Tampil Lebih Sesuai

0
340

Di tengah arus stagnansinya lagu anak yang mengiringi belantika musik tanah air, sederet musisi pun akhirnya terpanggil. Mereka coba menelurkan karya yang dirasa bisa mewakilkan ciri dari pendengar berusia anak-anak.

Lagu anak memang terasa seperti sudah benar-benar tidak layak lagi untuk berdengung. Namun, di tengah posisi tenggelam lama itu, sebenarnya beberapa musisi atau pihak-pihak yang memang terlibat dalam industri musik mencoba membangkitkan kembali lagu-lagu anak.

Pada era 90-an, lagu-lagu anak memiliki masa keemasannya. Saat itu, kita tentunya sangat mengenal nama-nama sekaliber Joshua Suherman, Bondan Prakoso, Tina Toon, Ria Enes, Enno Lerian, sampai Chikita Meidy.

Kala itu, Papa T Bob boleh dibilang sebagai pencipta sekaligus menjadi ikoni yang bertautan erat dengan lagu-lagu anak di Indonesia. Sampai pada era 2000-an, akses anak-anak untuk menikmati lagu-lagu yang cocok untuk mereka diramaikan oleh Sherina Munaf dan Tasya Kamila.

Gaung Itu Terhenti

Namun, perlu untuk diakui bahwa selepas dari masa-masa itu, gaung yang merepresentasikan lagu-lagu anak terhenti. Seolah terhenti, regenerasi musisi-musisi cilik seperti tidak lagi punya ‘nyali’ dan akses untuk tampil.

Hal itupun membuat lagu-lagu anak sulit, bahkan mustahil untuk bersaing dengan musik-musik yang membawa nuansa percintaan yang semakin hari semakin dan tetap populer.

Selain persoalan regenarasi, musik-musik ‘orang dewasa’ juga terus memperbaharui diri. Karakter musik yang disuguhkan juga kian beragam, mulai dari genre pop, rock, jazz, hingga folk.

Dari sini kita perlu menyadari bahwa musik-musik yang sebenarnya bukan untuk anak-anak, selain terus ramainya regenerasi, mereka juga terus menciptakan sesuatu yang memperlihatkan sebuah diversivikasi dalam sajiannya.

Langkah Demi #SaveLaguAnak

Pada posisi yang tengah terpuruk dan hampir punah tersebut, nyatanya ada usaha-usaha yang dilakukan oleh sejumlah musisi. Tujuannya adalah mencoba membangkitkan kembali gema lagu-lagu anak ke telinga pendengar yang seharusnya.

Salah satu contohnya adalah para musisi-musisi cilik yang mengambil langkah bereuni dengan rekan-rekan penyanyi cilik seangkatannya. Para ‘mantan’ ini berinisiatif untuk menggagas karya untuk mengundang lagu-lagu anak hidup lagi dari kematiannya.

Joshua Suherman dkk sempat kembali menelurkan karya yang dibarengi dengn tagar #SaveLaguAnak demi melawan anomali yang sedang menjangkiti—ramainya anak-anak menyanyikan lagu-lagu orang dewasa—anak-anak.

Tidak hanya itu, sebelum aksi reuni tersebut nama-nama grup band seperti Mocca, dan Naif sempat melakukan hal serupa. Langka tersebut ikut disusul oleh nama-nama musisi seperti Erwin Gutawa, dan Oppie Andaresta.

Gema yang Bekerja Sendirian

Sayangnya, langkah-langkah tersebut tampaknya kurang mendapatkan apresiasi dari pasar musik. Selain itu, kelemahan yang ditinggalkan juga sangat terlihat. Mereka semua adalah sekumpulan ‘orang-orang tua’ yang secara usia, tidak memberikan kedekatan yang intik bagi segmen pendengarnya, anak-anak.

Anggapan ini dirasa cukup beralasan karena karya-karya itu tidak terdengar gaungnya, apa lagi sampai mendekam di ingatan setiap anak. Mereka, sangat disayangkan, bahwa hanya sekilah menelurkan gema yang seolah bekerja sendiri.

Melihat situasi yang kurang mewakili kebutuhan hiburan untuk anak-anak tersebut, membuat salah satu duo cilik adik-kakak turun tangan. Berusia 10 dan 14 tahun, menjadikan duo ini menjawab persoalan usia sang musisi yang menyanyikan lagu-lagu anak.

Adalah Duo Mobysade yang tampil di tengah sulitnya menemukan kebutuhan akan regenerasi dan usia musisi yang lebih sesuai untuk pendengar yang diincar. Personil yang diisi oleh kedua musisi cilik ini tentu diharapkan mampu bergaung lebih jauh.

Demi Nafas yang Lebih Panjang

Moby (14 tahun), sang kakak berduet dengan sang adik, Sade yang baru berusia 10 tahun. Apabila dilihat, keduanya tampil serasi sebagai bocah lelaki yang berkolaborasi dengan bocah perempuan.

Aspek ini memberikan sajian yang merepresentasikan semua anak, perempuan dan laki-laki. Baik Moby dan Sade sebenarnya sudah menekuni musik sejak usia mereka empat tahun.

Meski terkategori sebagai musik anak, genre yang mereka bawakan berbeda. Nuansa Jazz mereka pilih untuk menjawab sebuah kebaruan yang berbeda jauh dengan lagu-lagu anak kebanyakan di masa silam.

Sebagaimana diketahui, Jazz sendiri cenderung dicirikan sebagai genre musik yang memiliki kelas segmentasi audiens yang mengerucut pada kesan eksklusif. Dan, genre ini boleh dibilang tidak biasa untuk anak-anak sebaya dengan mereka.

Dari sini, semacam ada celah bagi Duo Mobysade dapat kesempatan untuk memiliki nafas yang lebih panjang dari para musisi senior yang berusaha menyelamatkan eksistensi lagu-lagu anak.

Berkiblat Pada Musik Jazz Era 60-an

Duo cilik diketahui banyak terinspirasi oleh musisi yang membawakan lagu jazz di tahun 60-an. Sentuhan Jazz membuat lagu-lagu yang Moby dan Sade bawakan jadi penuh dengan warna segar, sekaligus ceria.

Kecerian dalam warna musiknya ini menciptakan perbedaan yang begitu tegas antara lagu-lagu sendu yang riuh dengan aroma romansa percintaan akut. Hal ini tidak lepas dari salah satu punggawa band The Groove, Ali Akbar Sugiri yang bertindak sebagai Produser.

Dari sana, sebuah album perdana bertajuk My Best Friend akhirnya resmi dirilis pada Juli lalu. Di album tersebut, tema cinta kepada keluarga, dan kebanggaan menjadi anak indonesia pun mereka suarakan.

Sade yang piawai dengan Double Bass tampil kompak dengan Moby sebagai gitaris. Bukan Cuma sekadar memainkan alat musik, keduanya juga berduet mengisi vokal. Artinya, mereka berdua sama-sama mengeluarkan suara untuk bernyanyi.

Dengan berkembangnya era digital saat ini, tentu tidak sulit untuk menemukan lagu-lagu mereka. Kebaruan Duo Mobysade sepertinya pantas untuk diberi celah untuk ‘menggoda’ anak-anak Indonesia kembali mengalihkan perhatiannya ke musik-musik yang juga sebaya denga usia mereka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here